Jejak Langkah Pemuda Mandiri: Kisah Perjuangan dari Serambi Masjid hingga Bangku Kuliah

Bagikan Keteman :

Jejak Langkah Pemuda Mandiri: Kisah Perjuangan dari Serambi Masjid hingga Bangku Kuliah

Masa kecilku banyak kuhabiskan di serambi masjid, di kampung kelahiranku. Saat senja tiba, selepas azan Maghrib, aku duduk bersimpuh bersama teman-teman kecilku, belajar mengeja huruf demi huruf Al-Qur’an. Guru-guruku saat itu—Bapak Ya’kub, Bapak Samukit, Bapak Mujaizin, Bapak Munajib, Bapak Sabikin, dan Bapak H. Munir Abbas—adalah sosok-sosok mulia yang sangat kuhormati. Dari merekalah aku belajar, bukan hanya ayat suci, tapi juga arti ketekunan dan adab terhadap ilmu.

Namun waktu terus bergulir. Saat aku beranjak ke usia MTs, zaman telah berubah. Serambi masjid yang dulu ramai oleh tadarus anak-anak, perlahan menjadi sunyi. Hanya tinggal beberapa kakak kelas seperti Cak Nuri, Cak Bahron, dan Cak Muflihun—generasi terakhir dari masa itu.

Melihat itu, hatiku tergerak. Aku memutuskan untuk hadir setiap malam di masjid antara Maghrib hingga Isya, meski sendiri. Tanpa disangka, beberapa anak kecil mulai datang dan bergabung. Hari demi hari, jumlah mereka bertambah. Hingga mencapai hampir seratus anak. Aku tidak hanya menemani mereka belajar Al-Qur’an dan hafalan, tetapi juga mendampingi mereka mengenal shalat dan adab-adab Islam. Aku kelompokkan mereka, dan kuangkat beberapa dari mereka yang lebih senior untuk membimbing adik-adiknya. Begitulah aku mengajar, membina, dan mendidik mereka selama enam tahun.

Hingga suatu masa aku harus pamit. Aku berhenti dari kegiatan mulia itu karena harus hijrah ke Surabaya—demi mengejar masa depan, kuliah, dan bekerja.

Awalnya, niatku ke Surabaya bukanlah untuk kuliah, tetapi untuk bekerja apa saja yang bisa menghasilkan. Tuhan memudahkan langkahku. Aku mendapatkan kontrakan kecil di sebuah pasar sore di Pandegiling, Surabaya. Di sana aku membuka warkop kecil sederhana berbentuk gerobak rombong. Setiap sore setelah Ashar, aku mulai menggelar jualanku: kopi, es teh, jajanan ringan. Warung kopi gerobak itu kubuka hingga menjelang Subuh—sendirian.

Seminggu berjualan, aku mulai merasakan hasil dari kerja keras itu. Aku mulai berpikir kembali tentang kuliah. Aku cari kampus yang terjangkau biayanya. Pilihanku jatuh pada IAIN Sunan Ampel Surabaya. Aku memilih Fakultas Dakwah, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI). Bukan karena itu impianku, tapi karena aku merasa realistis. Fakultas Tarbiyah saat itu sangat favorit—aku khawatir tak diterima karena merasa diriku biasa saja. Aku memilih jalan yang menurutku lebih mungkin kulalui.

Setelah diterima, hidupku pun berubah ritmenya. Sore aku bekerja membuka warkop hingga dini hari. Pagi hari aku tidak tidur, tapi justru berolahraga joging demi menjaga kebugaran tubuh. Pukul 06.30 pagi, aku berangkat dari kos-kosanku di daerah Kecacil Pandegiling. Naik bus kota sekitar 30 menit menuju kampus. Di dalam bus, aku belajar memejamkan mata, istirahat sejenak sambil duduk—dan itu cukup membuatku tetap segar. Kuliah kujalani dengan semangat, meski siangnya hanya bisa tidur sebentar.

Begitulah hari-hariku selama hampir empat tahun: bekerja, belajar, berjuang. Aku membiayai kuliahku sendiri dari hasil warkop kecil itu. Aku mencukupi kebutuhan hidupku sendiri, bahkan aku masih bisa menyisihkan sedikit untuk ibu di kampung. Aku hidup mandiri, tak bergantung pada siapa pun. Aku berdiri di kaki sendiri.

Kini, ketika aku mengenang semua itu, hatiku dipenuhi rasa syukur. Keadaan telah membentukku menjadi pribadi yang tangguh. Aku ditempa oleh hidup yang keras, tetapi tak pernah merasa hancur. Aku justru tumbuh menjadi pribadi yang tahan banting, tidak takut susah, tidak takut lelah. Aku berharap, kelak anak-anakku pun dianugerahi semangat dan jiwa seperti ini—jiwa mandiri yang tidak takut pada kesengsaraan, tidak gentar menghadapi hidup dalam rupa dan bentuk apa pun.

Itulah sekelumit kisah hidupku—kisah biasa, tapi penuh makna bagiku. Semoga bisa menjadi pelecut semangat bagi siapa pun yang membacanya.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment